STUDI
KASUS PT. UNILEVER INDONESIA
PT Unilever Indonesia
Tbk (perusahaan) didirikan pada 5 Desember 1933 sebagai Zeepfabrieken N.V.
Lever dengan akta No. 33 yang dibuat oleh Tn.A.H. van Ophuijsen, notaris di
Batavia. Akta ini disetujui oleh Gubernur Jenderal van Negerlandsch-Indie
dengan surat No. 14 pada tanggal 16 Desember 1933, terdaftar di Raad van
Justitie di Batavia dengan No. 302 pada tanggal 22 Desember 1933 dan diumumkan
dalam Javasche Courant pada tanggal 9 Januari 1934 Tambahan No. 3. Dengan akta
No. 171 yang dibuat oleh notaris Ny. Kartini Mulyadi tertanggal 22 Juli 1980,
nama perusahaan diubah menjadi PT Unilever Indonesia. Dengan akta no. 92 yang
dibuat oleh notaris Tn. Mudofir Hadi, S.H. tertanggal 30 Juni 1997, nama
perusahaan diubah menjadi PT Unilever Indonesia Tbk. Akta ini disetujui oleh
Menteri Kehakiman dengan keputusan No. C2-1.049HT.01.04TH.98 tertanggal 23
Februari 1998 dan diumumkan di Berita Negara No. 2620 tanggal 15 Mei 1998
Tambahan No. 39.
Perusahaan mendaftarkan 15% dari sahamnya
di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya setelah memperoleh persetujuan
dari Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) No. SI-009/PM/E/1981 pada
tanggal 16 November 1981.
Pada Rapat Umum Tahunan
perusahaan pada tanggal 24 Juni 2003, para pemegang
saham menyepakati pemecahan saham, dengan mengurangi nilai nominal
saham dari Rp 100 per saham menjadi Rp 10 per saham. Perubahan ini dibuat di
hadapan notaris dengan akta No. 46 yang dibuat oleh notaris Singgih Susilo,
S.H. tertanggal 10 Juli 2003 dan disetujui oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dengan keputusan No. C-17533 HT.01.04-TH.2003. Perusahaan
bergerak dalam bidang produksi sabun, deterjen, margarin, minyak sayur dan
makanan yang terbuat dari susu, es krim, makanan dan minuman dari teh dan
produk-produk kosmetik. Sebagaimana disetujui dalam Rapat Umum Tahunan
Perusahaan pada tanggal 13 Juni, 2000, yang dituangkan dalam akta notaris No.
82 yang dibuat oleh notaris Singgih Susilo, S.H. tertanggal 14 Juni 2000, perusahaan
juga bertindak sebagai distributor utama dan memberi jasa-jasa penelitian
pemasaran. Akta ini disetujui oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan (dahulu
Menteri Kehakiman) Republik Indonesia dengan keputusan No.
C-18482HT.01.04-TH.2000. Perusahaan memulai operasi komersialnya pada tahun
1933.
Mengenai studi kasus diatas dapat di analisis terhadap kasus
dari PT Unilever yaitu efisiensi dalam produksi dampak lingkungan tempat
produksi Unilever terbagi atas dampak yang berasal dari luar (seperti penggunaan
sumber daya dan energi) dan dampak yang berasal dari dalam (seperti limbah cair
dan sampah). Untuk mengelola dampak ini sambil terus-menerus menyempurnakan
proses produksi, Unilever menerapkan Sistem Pengelolaan Lingkungan atau
Environmental Management Sytem (EMS) berdasarkan ISO 14001. Elemen penting dari
EMS Unilever adalah menetapkan dan meninjau sasaran berdasarkan indikator
kinerja utama atau key performance indicator (KPI). Keuntungan
menggunakan ISO 14001 yaitu peningkatan daya saing dari pasar global, yaitu
dengan menyediakan teknologi pengolahan air limbah canggih yang memungkinkan
pemanfaatan air buangan hasil daur ulang untuk boiler dan menara
pendingin. Sementara itu, limbah domestik dari toilet dan aktivitas
pencucian masih dikirimkan langsung ke saluran limbah milik kawasan industri. Unilever
melaporkan penanganan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang telah
dilakukannya, yaitu bahwa limbah B3 ini disimpan dalam ruang penyimpan khusus,
sebelum dibuang ke PPLI, sebuah perusahaan pembuangan limbah B3 yang memenuhi
standar lingkungan Indonesia dan internasional. Limbah padat dari kegiatan
pencucian reaktor dipandang sebagai limbah B3 dan karena itu dikirim ke PPLI
untuk pengolahan yang baik dan benar. Sedangkan untuk limbah yang tidak berbahaya
Unilever bekerja sama dengan Asosiasi Industri Daur Ulang Plastik Indonesia
(AIDUPI). Kemasan yang tidak terpakai atau bahan plastik lainnya untuk membuat
produk plastik seperti ember atau keset. Limbah lain seperti drum kosong dan
palet juga dikirimkan ke mitra untuk dipakai lagi atau didaur ulang.
Unilever mengurangi
jumlah limbah tidak berbahaya yang dihasilkan pabriknya yang mencakup limbah
domestik, serta produk dan kemasan yang tidak layak jual/pakai. Unilever
berupaya memanfaatkan kembali atau mendaur ulang limbah tersebut. Limbah yang
tidak dapat dipakai atau didaur ulang lagi akan dibuang ke tempat pembuangan
akhir. Unilever telah menandatangani kesepahaman mengenai pengolahan limbah
dari pabrik mereka kemudian sejak saat itu unilever tidak lagi mengirim lumpur
apa pun ke tempat pembuangan akhir. Pihak unilever harus memperbaiki sistem
pengelolaan datanya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan
transkripsi, dan untuk mengembangkan sistem penelusuran data lingkungan yang
lebih baik. Semuanya dilakukan sebagai bukti komitmen dalam penyediaan
informasi yang lengkap dan akurat mengenai dampak lingkungannya.
0 komentar:
Posting Komentar